KUMPULAN REFERENSI SKRIPSI DARI BERBAGAI JURUSAN,
DAN SEMUA TENTANG SKRIPSI ADA DI SINI

PENEGAKAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DALAM UPAYA PELAKSANAAN KONSERVASI TAMAN NASIONA

BAB I

PENDAHULUAN

1. Permasalahan

a. Latar belakang masalah

Lingkungan hidup makin banyak menarik perhatian masyarakat luas. Baik kalangan pemerintah, universitas, media massa maupun masyarakat umum membicarakannya. Permasalahan lingkungan mendapat perhatian yang sangat besar di hampir semua negara di dunia, termasuk di Indonesia. Ini terutama terjadi dalam dasawarsa 1970-an setelah diadakannya Konperensi PBB tentang lingkungan hidup di Stockholm dalam tahun 1972. Dalam konperensi Stockholm telah disetujui banyak resolusi tentang lingkungan hidup yang digunakan sebagai landasan tindak lanjut. Salah satu diantaranya ialah didirikannya badan khusus dalam PBB yang ditugasi untuk mengurus permasalahan lingkungan, yaitu United Nations Environmental Programme, disingkat UNEP. Badan ini bermarkas di Nairobi, Kenya.[1]

1

Perhatian tentang lingkungan hidup di Indonesia, telah mulai muncul di media massa sejak tahun 1960-an. Pada umumnya berita itu berasal dari dunia barat yang dikutip oleh media massa kita, oleh karena berita itu berasal dari dunia barat, masalah lingkungan yang diliput oleh media massa adalah terutama yang mengenai pencemaran.[2] Tonggak sejarah tentang permasalahan lingkungan hidup di Indonesia ialah diselenggarakannya Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional oleh Universitas Padjajaran di Bandung pada tanggal 15-18 Mei 1972. Seminar itu merupakan seminar tentang lingkungan hidup yang pertama kalinya diadakan di Indonesia.

Berbicara mengenai permasalahan lingkungan hidup, tidak terlepas dengan hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Jadi, pada hakekatnya yang menjadi perhatian ialah masalah ekologi, karena aktivitas apapun yang berhubungan dengan makhluk hidup, terutama manusia, selalu memiliki fungsi, peranan, dan kedudukan yang berkaitan dengan lingkungan.

Secara etimologi, kata ekologi berasal dari dua suku kata bahasa Yunani, yaitu: “oikos” yang artinya rumah tangga dan “logos” yang artinya ilmu. Jadi secara etimologi, ekologi merupakan suatu ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup; atau ilmu tentang makhluk hidup di dalam rumah tangganya.[3] Karena inti permasalahan lingkungan hidup adalah hubungan timbal balik antara makhluk hidup, khususnya manusia dengan lingkungan hidupnya, dan ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya disebut dengan ekologi, sehingga permasalahan lingkungan hidup pada hakekatnya adalah permasalahan ekologi.

Konsep sentral dalam ekologi ialah ekosistem, yaitu suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Menurut Mohammad Taufik Makarao, ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.[4] Dalam sistem ini, semua komponen bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan.[5] Ekosistem terbentuk oleh komponen hidup dan takhidup di suatu tempat yang berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur.[6]

Masing-masing komponen itu mempunyai fungsi, dan selama masing-masing komponen itu melakukan fungsinya dan bekerja sama dengan baik, keteraturan ekosistem itu pun terjaga dan ekosistem tersebut ada dalam suatu keseimbangan tertentu yang bersifat dinamis yang selalu dapat berubah-ubah. Kadang perubahan itu besar, kadang kecil, yang dapat terjadi secara alamiah, maupun sebagai akibat dari perbuatan manusia. Dengan konsep ekosistem, unsur-unsur dalam lingkungan hidup tidak berdiri sendiri-sendiri tetapi terintegrasi sebagai komponen yang saling berkaitan dalam suatu sistem.

Permasalahan lingkungan hidup yang kini menjadi permasalahan dunia tidak terlepas dari adanya pengelolaan terhadap lingkungan hidup yang tidak terkontrol dengan baik. Dampak negatif yang muncul dalam pengelolaan lingkungan hidup tidak terlepas dari hakekat pembangunan yang secara sadar melakukan pemanfaatan sumber daya alam untuk dapat mencapai tujuan pembangunan.. Di dalam mengelola atau memanfaatkan lingkungan hidup, “tidak jarang manusia tertarik dan terpesona oleh tujuan yang dikejarnya saja sehingga tidak menyadari akibat-akibat sampingannya” berupa resiko yang bersifat langsung muncul maupun “laten” bagi kelanjutan kehidupan manusia beserta generasi di masa mendatang.[7]

Pembangunan dengan lingkungan hidup memang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, baik dari segi manfaat maupun segi pengaruh negatif dari hasil sampingan yang diberikan secara bersamaan. Mengingat akan keterkaitannya tersebut, berbagai usaha dilakukan Pemerintah Indonesia sebagai penanggung jawab utama dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia untuk dapat memperkecil dampak negatifnya agar tercipta lingkungan hidup yang baik dan sehat. Salah satu wujud usahanya adalah berupa penetapan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, seperti misalnya Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (selanjutnya disebut UU Konservasi).

Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa sumber daya alam yang berlimpah, baik di darat, di perairan maupun di udara yang merupakan modal dasar pembangunan nasional di segala bidang. Modal dasar sumber daya alam tersebut harus dilindungi, dipelihara, dilestarikan, dan dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan mutu kehidupan manusia pada umumnya menurut cara yang menjamin keserasian, keselarasan dan keseimbangan, baik antara manusia dengan Tuhan penciptanya, antara manusia dengan masyarakat maupun antara manusia dengan ekosistemnya, sehingga pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagai bagian dari modal dasar tersebut pada hakikatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila.

Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian terpenting dari sumber daya alam yang terdiri dari alam hewani, alam nabati ataupun berupa fenomena alam, baik secara masing-masing maupun bersama-sama mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak dapat diganti.

Mengingat sifatnya yang tidak dapat diganti dan mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan manusia, maka upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah menjadi kewajiban mutlak dari tiap generasi untuk melindunginya. Seperti misalnya di Taman Nasional Bali Barat sebagai kawasan konservasi sumber daya alam hayati yang harus dijaga dari tindakan yang tidak bertanggung jawab yang dapat menimbulkan kerusakan pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam ataupun tindakan lain yang melanggar ketentuan UU Konservasi, diancam dengan pidana yang berat berupa pidana badan dan denda. Pidana yang berat tersebut dipandang perlu karena kerusakan atau kepunahan salah satu unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya akan mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat yang tidak dapat dinilai dengan materi, sedangkan pemulihannya kepada keadaan semula tidak mungkin lagi. Akibat dari sifatnya yang luas dan menyangkut kepentingan masyarakat secara keseluruhan, maka upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat.

Konservasi hutan adalah bertujuan untuk memastikan fungsi utama perlindungan kawasan hutan terjamin seperti perlindungan tanah, perlindungan kawasan tadahan air, dan kestabilan cuaca. Dalam penerapan hukum konservasi hutan, kondisi utama yang dikehendaki bersama adalah berlangsungnya keutuhan dan fungsi hutan sebagai penunjang ekologi dalam pembangunan nasional. Karena itu, hutan beserta fungsi dan peranannya harus dikelola secara rasional, terencana dan terpadu antara lain melalui sistem kebijaksanaan pengelolaan hutan secara lestari.[8] Berhasilnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berkaitan erat dengan tercapainya tiga sasaran konservasi, yaitu:

a. Menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia (perlindungan sistem penyangga kehidupan);

b. Menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan (pengawetan sumber plasma nutfah);

c. Mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya (pemanfaatan secara lestari). [9]

Aktivitas-aktivitas menggalakkan perlindungan hutan termasuk rehabilitasi kawasan hutan dengan habitat kepelbagaian spesies fauna dan flora yang unik untuk tujuan memulihkan fungsi ekologi kawasan tersebut. Akibat sampingan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang bijaksana, belum harmonisnya penggunaan dan peruntukan tanah serta belum berhasilnya sasaran konservasi secara optimal, baik di darat maupun di perairan dapat mengakibatkan timbulnya gejala erosi genetik, polusi, dan penurunan potensi sumber daya alam hayati, dan terganggunya habitat asli di kawasan konservasi.

Frekwensi kejahatan yang terjadi di kawasan konservasi yang semakin hari semakin meningkat, dimana sering kita jumpai di media cetak mengenai kasus pembalakan liar dan kasus perburuan satwa langka di kawasan konservasi taman nasional Bali barat. Menurut catatan Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, Departemen Kehutanan, polulasi Jalak Bali pada tahun 1942 diperkirakan masih sekitar 1.000 ekor dengan luas habitat sekitar 370 kilometer persegi, Pada era 1990-an, populasinya menyusut menjadi 100 ekor dengan luas habitat sekitar 16 kilometer persegi, namun pada tahun 2005 jumlahnya tinggal 13 ekor dengan luas habitat sementara habitatnya tinggal tiga kilometer saja. Bahkan survei yang melibatkan peneliti dari LIPI dan para pecinta burung, termasuk Forum Konservasi Satwa Liar Indonesia pada Januari 2005, hanya menemukan lima ekor saja. Termasuk satu Jalak Bali yang ditemukan tanpa cincin melingkar di pergelangan kakinya (berdasarkan data yang diperoleh dari kantor Taman Nasional Bali Barat)

Catatan Kompas menunjukkan, 39 Jalak Bali dicuri komplotan pencuri Jalak Bali pada tahun 1999. Agustus 2000, sebanyak 13 Jalak Bali kembali dicuri dari Pusat Penangkaran Jalak Bali di Tegal Bunder.[10] Selama tahun 2006 terdapat enam kasus penangkapan Jalak Bali secara ilegal yang ditangani pengelola TNBB bersama kepolisian setempat.[11]

Pada tahun 2007, berdasarkan laporan perkembangan penanganan kasus dari Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Balai Taman Nasional Bali Barat selama tahun 2006-2007, diketahui terdapat 9 kasus, yaitu dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:

Tabel 1.1 Register Perkara Balai TNBB Tahun 2006-2007

No.

Tersangka

Uraian Kasus

Barang Bukti

Pasal yang dilanggar

Ancaman Pidana

Rincian Hukuman

Jml

Jenis

1.

I Nengah Dela

Mengambil, mengeluarkan dan mengangkut tumbuhan sentigi dengan menggunakan sepeda motor

3

Sentigi

Psl 21 ayat (1) UU No. 5/1990 jo. Psl 50 ayat (3) hrf h UU 41/1999

6 bln penjara

3 bln penjara dan denda sebesar Rp. 200.000 subsider 1 bulan kurungan

2.

Safi’i Fatwadi als Rido, Yudi

Pencurian Terumbu Karang

170

Karang Laut

Psl 21 ayat (1) UU No. 5/1990

11 bln penjara

4 bln penjara dan denda sebesar Rp. 1.000.000 subsider 1 bulan kurungan

3.

Komang Salendra

Penangkapan Satwa Burung Raja Udang, Perkutut, Tekukur, dan Kadalan

5

Raja Udang, Perkutut, Tekukur, dan Kadalan

Psl 21 ayat (2) UU No. 5/1990

6 bln penjara

2 bln 10 hari penjara dan denda sebesar Rp. 200.000 subsider 3 bulan kurungan

4.

Ngurah Ardita, Nyoman Sutama dan Putu Darma

Menebang Pohon Tangi

5

Kayu Tangi dan Klampuak

Psl 21 ayat (1) UU No. 5/1990 jo. Psl 50 ayat (3) hrf e UU 41/1999

8 bln penjara

Pt.Darma dan Nyoman Sutama 6 bln dan denda Rp 500.000 subsider 1 bln kurungan. Ngurah Ardita 9 bln dan denda 500.000 subsider 1 bln kurungan

5.

Amir Irsal, Imam Bohori dan Husaini

Pengangkutan Kayu Kajimas dengan menggunakan truk tanpa SKSHH

85

Kayu Kajimas

Psl 21 ayat (1) UU No. 5/1990 jo. Psl 50 ayat (3) hrf h UU 41/1999

10 bln penjara

Husaini 4 bln dan denda Rp. 250.000 subsider 15 hari kurungan. Amir Irsal dan Imam Bohori 3 bln 24 hari dan denda Rp.250.000 subsider 15 hari kurungan

6.

Ipan

Pencarian Ikan Hias

17

Ikan Hias Abuliris, Dokter, Jagungan, Udang Kaca, dll

Pasal 21 ayat (2) UU No. 5 tahun 1990

8 bln penjara

6 bln penjara dan denda Rp. 200.000 subsider 2 bln kurungan

7.

Kadek Rai Artana dan Ketut Hadi Budiana

PengangkutanKayu Majagahu

13

Kayu Majagahu

Psl 21 ayat (1) UU No. 5/1990 jo. Psl 50 ayat (3) hrf h UU 41/1999

8 bln penjara

Masih Proses

8.

I Wayan Tiler

Pengangkutan Kayu Buluh

8

Kayu Buluh

Psl 21 ayat (1) UU No. 5/1990 jo. Psl 50 ayat (3) hrf h UU 41/1999

6 bln penjara

Masih Proses

9.

Sumarno

Penebangan Kayu Balangan

13

Kayu Balangan

Psl 21 ayat (1) UU No. 5/1990 jo. Psl 50 ayat (3) hrf e UU 41/1999

6 bln penjara

Masih Proses

Sumber : Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Balai Taman Nasional Bali Barat

Dalam tabel tersebut terlihat bahwa, lemahnya penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan di kawasan konservasi, dimana rata-rata hukuman yang diterima pelaku adalah bervariasi dari pidana penjara 2 bulan sampai dengan yang paling tinggi dijatuhkan adalah 9 bulan penjara dengan denda sebesar Rp. 200.000,- dan paling tinggi Rp. 1.000.000,-. Padahal kejahatan yang dilakukan itu terhadap tumbuh-tumbuhan dan satwa yang bernilai tinggi.

Kondisi demikian tentu tak luput dari kerusakan TNBB sebagai habitatnya. Salah satunya diakibatkan oleh penebangan liar (illegal logging), baik dalam bentuk kayu gelondongan ataupun kayu bakar. Kondisi itu diperkuat lagi dengan adanya penemuan kayu-kayu tak bertuan di dalam hutan, yang merupakan hasil penebangan liar. Sedikitnya sejak Juli hingga September 2001 tim PKH telah berhasil mengamankan kayu hasil curian sebanyak 1570 batang atau setara dengan 127,377 meter kubik.[12]

Akibat dari banyak terjadinya pelanggaran di kawasan tersebut dan sanksi hukum terhadap pelanggar UU Konservasi banyak yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, membuat banyak kalangan mempertanyakan efektifitas penerapan UU Konservasi.

Bertolak dari pemikiran di atas, maka persoalan mengenai efektivitas penegakan UU Konservasi dalam pelaksanaan perlindungan kawasan konservasi Taman Nasional, khususnya Taman Nasional Bali Barat menjadi topik yang sangat menarik untuk dikaji lebih jauh lagi karena begitu pentingnya kawasan konservasi tersebut sebagai penyangga kehidupan, sehingga penulis tertarik untuk mengkaji tentang: “Penegakan Undang-undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya Dalam Upaya Pelaksanaan Konservasi Taman Nasional Bali Barat (Suatu Tinjauan Hukum Pidana)”.

b. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan seperti yang dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penegakan Undang-undang No. 5 tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya di Taman Nasional Bali Barat ?

2. Kendala apa yang dihadapi petugas/aparat penegak hukum dan bagaimana upaya penanggulangannya dalam rangka penegakan Undang-undang No. 5 tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya di Taman Nasional Bali Barat ?

2. Landasan Teoritis dan Hipotesis

a. Landasan teoritis

Landasan teori merupakan teori-teori yang mendasari uraian atau permasalahan yang dikemukakan, dimana teori menjadi pegangan pokok secara umum yang disusun dalam suatu pemikiran. Landasan teoritis berupa teori-teori hukum atau pendapat-pendapat ilmuwan dan hasil-hasil penelitian yang harus disusun sedemikian rupa sehingga terkait dengan permasalahan yang diajukan. Teori-teori atau konsep yang melatarbelakangi penulisan skripsi ini adalah mengacu pada teori-teori hukum, efektifitas, keberlakuan hukum dan teori pemberdayaan (masyarakat).

Aristoteles (384-422 M) seorang filsuf Yunani kuno mengatakan dalam ajaran bahwa manusia itu adalah zoon politicon.[13] Artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi makhluk yang suka bermasyarakat. Karena sifatnya yang suka bergaul satu sama lainnya, maka manusia disebut makhluk sosial. Lebih jauh Kansil mengatakan bahwa manusia sebagai individu (perorangan) mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat. Manusia lahir, hidup, berkembang dan meninggal dunia dalam masyarakat.[14]

Berdasarkan kedua pendapat ahli sosiologi diatas, dapat diketahui bahwa manusia secara kodrati hidup berkelompok (bermasyarakat). Dalam bermasyarakat, manusia mengadakan interaksi satu sama lainnya. Selain berinteraksi dengan manusia lainnya, manusia juga berinteraksi dengan alam sekitarnya. Untuk menjaga keseimbangan alam sekitarnya, manusia bertanggungjawab menjaga agar keseimbangan alam tetap terjaga.

Dalam upaya mengisi dan mengembangkan hidupnya, manusia memiliki dua sifat, yakni sifat baik dan buruk. Sifat buruk inilah yang menyebabkan terjadinya suatu benturan kepentingan dalam suatu interaksi yang menyebabkan suatu perselisihan, pertikaian yang mengganggu keserasian hidup, sehingga manusia membutuhkan suatu aturan untuk tetap menjaga hubungan tersebut tetap harmonis. Aturan tersebut memberi petunjuk manusia bagaimana bertingkah laku dan bertindak dalam masyarakat, aturan tersebut bersifat memaksa dan mengatur untuk menjaga dan menjamin tata tertib dalam masyarakat, yang dinamakan peraturan hukum. Hukum itu sendiri berfungsi untuk mengatur hubungan antara manusia agar segala kehidupan di dalam masyarakat berjalan lancar.[15] Jadi dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Ubi societas ibi ius.[16]

Menurut J.C.T Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu.[17]

Selain dapat terjadi benturan kepentingan dalam hubungan interaksi antara manusia dengan manusia lainnya, dalam hubungan dengan alam sekitarpun dapat terjadi suatu benturan yang mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan ekosistem. Untuk mengatur dan menjaga keseimbangan interaksi antara manusia dengan alam sekitarnya, maka perlu dibentuk suatu aturan hukum dan norma yang mengatur mengenai hal tersebut. Salah satu misalnya adalah aturan yang mengatur perlindungan kawasan konservasi sebagai fungsi utama perlindungan kawasan hutan yang merupakan sistem penyangga kehidupan, dimana aturan ini dituangkan dalam bentuk Undang-undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya.

Adakalanya suatu Undang-undang yang dibentuk tidak dapat menyentuh rasa keadilan dan penerapannya tidak efektif di masyarakat. Efektivitas dalam pengertian ini adalah “berfungsinya hukum dalam masyarakat”.[18] Efektifitas terkait dengan sanksi, oleh Schwarts dan Orleans, mengatakan bahwa:

1. Sanksi negatif (c.q. hukuman) mengurangi pelanggaran, baik yang dilakukan oleh pelanggar maupun pihak-pihak lainnya

2. Semakin keras sanksi negatif, semakin tinggi derajad efektifitasnya

3. Sanksi negatif dapat diterapkan tanpa mengakibatkan terjadinya kerugian

4. kemungkinan-kemungkinan lain tidak dapat dianggap sebagai suatu alternatif yang sederajad dengan penerapan sanksi negatif. [19]

Menurut Gelding Theory, ada tiga syarat berlakunya kaedah hukum, yaitu:

(a) Kaedah hukum berlaku secara yuridis, artinya aturan yang ada harus didasarkan pada kaedah hukum yang lebih tinggi (Stuffen Bouw Theory oleh Hans Kelsen);

(b) Kaedah hukum berlaku secara sosiologis, artinya kaedah hukum tersebut berlaku dalam masyarakat sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat, dimana kaedah hukum tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa (teori kekuasaan) dan dapat pula karena adanya pengakuan dan penerimaan oleh masyarakat kepada siapa kaedah hukum tersebut diberlakukan (teori pengakuan);

(c) Kaedah hukum berlaku secara filosofis, artinya suatu kaedah hukum harus berdasarkan pada cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.

Menurut Soerjono Soekanto, agar suatu kaedah hukum atau peraturan hukum benar-benar dapat berfungsi (efektif) dengan baik, maka paling sedikit harus memenuhi empat faktor, yaitu:

1. Kaedah hukum atau peraturan hukum itu sendiri;

2. Petugas yang menegakkan atau yang menerapkan aturan hukum tersebut;

3. Fasilitas yang diharapkan akan dapat mendukung pelaksanaan kaedah hukum, dan

4. Warga masyarakat.[20]

Faktor pertama dan kedua merupakan faktor yuridis dan faktor ketiga dan keempat merupakan faktor non-yuridis. Faktor terakhir inilah yang sulit menyesuaikan diri dengan hukum, yang disebabkan perbedaan cara berpikir, kemampuan intelektual, tingkat pendidikan dan kepentingan yang berbeda-beda masing-masing orang dalam masyarakat. Efektivitas suatu peraturan perundang-undangan berkaitan erat dengan kesadaran hukum dan kepatuhan hukum masyarakat.

Kesadaran hukum merupakan kesadaran akan nilai-nilai yang terdapat dalam diri manusia tentang hukum yang diharapkan ada.[21] Kesadaran hukum ini biasanya dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan atau pendidikan seseorang, namun tidak selalu demikian. Terkadang seseorang memiliki pengetahuan yang cukup, namun kepatuhannya terhadap hukum kurang. Sehingga diperlukan pemberdayaan terhadap masyarakat untuk dapat memiliki kesadaran dan kepatuhan terhadap hukum.

Pemberdayaan masyarakat ini bertujuan untuk memotivasi masyarakat untuk menyadari hak dan kewajiban serta meningkatkan partisipasi dan peran serta masyarakat dalam perlindungan kawasan konservasi. Pemberdayaan masyarakat mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan kepada proses memberikan, mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya. Proses ini biasanya melalui suatu organisasi. Kedua, pemberdayaan yang menekankan pada proses stimulus, yaitu menstimulasi, mendorong, memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya menjadi proses dialog.

Dari uraian diatas dapat ditemukan landasan pemikiran dalan tulisan ini sebagai berikut:

1. Adanya asas ubi societas ibi ius (dimana ada manusia disitu ada hukum). Hukum melekat pada manusia, baik manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon) maupun manusia sebagai makhluk alam semesta.

2. Efektivitas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan, terkait dengan penerapan peraturan tersebut dalam praktek, yaitu “berfungsinya hukum dalam masyarakat” dan dapat dilihat dari kekuatan sanksi dari aturan hukum, dimana semakin keras sanksi negatif, semakin tinggi derajad efektifitasnya.

3. Menurut Gelding Theory, ada tiga syarat berlakunya kaedah hukum, yaitu:

(a) Kaedah hukum berlaku secara yuridis

(b) Kaedah hukum berlaku secara sosiologis

(c) Kaedah hukum berlaku secara filosofis

4. Efektifnya suatu kaedah hukum pada tingkat penerapannya ditentukan oleh:

(a) Kaedah hukum itu sendiri;

(b) Petugas yang menjalankan atau yang menerapkannya;

(c) Fasilitas pendukung pelaksanaan kaedah hukum, dan

(d) Warga masyarakat.

b. Hipotesis

Hipotesis merupakan kesimpulan sementara yang harus dibuktikan kebenarannya dengan data empiris. Hipotesa juga merupakan suatu jawaban yang dianggap besar kemungkinannya benar, karena hipotesis merupakan petunjuk sementara pemecahan masalah.[22]

Berdasarkan landasan teori diatas, penulis membuat kesimpulan sementara sehubungan dengan beberapa masalah pokok dalam penelitian ini, sebagai berikut:

1. Bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan Undang-undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, yaitu kaedah hukum itu sendiri, petugas yang menjalankan atau yang menerapkannya, fasilitas pendukung pelaksanaan kaedah hukum, dan warga masyarakat.

2. Kendala yang dihadapi dalam upaya perlindungan kawasan konservasi Taman Nasional Bali Barat dan upaya yang dapat ditempuh dalam menanggulangi pelanggaran dan kejahatan yang terjadi kawasan konservasi Taman Nasional Bali Barat, yaitu:

a. Kendala yang dihadapi dalam upaya perlindungan kawasan konservasi Taman Nasional Bali Barat yaitu terbatasnya jumlah polisi kehutanan yang menjaga kawasan konservasi seluas 19.002,89 sehingga menyulitkan petugas untuk melakukan pengawasan terhadap aktivitas yang dapat menggangu ekosistem kawasan konservasi Taman Nasional Bali Barat, serta sarana dan prasarana penunjang yang masih terbatas dan kurang untuk melakukan pengawasan terhadap segala bentuk tindak pelanggaran dan kejahatan yang dapat menggangu ekosistem kawasan konservasi Taman Nasional Bali Barat dan juga karena kebiasaan masyarakat sekitar memanfaatkan hasil hutan dan melakukan penebangan hutan sebagai mata pencaharian, dan minimnya

b. Upaya yang dapat ditempuh dalam menanggulangi pelanggaran dan kejahatan yang terjadi kawasan konservasi Taman Nasional Bali Barat adalah dengan dengan melakukan upaya preventif, upaya represif dan upaya pre-emtif

3. Tujuan Penulisan

a. Tujuan umum

Untuk mengetahui efektifitas penegakan Undang-undang No. 5 tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya dalam menanggulangi pelanggaran dan kejahatan di kawasan konservasi Taman Nasional Bali Barat.

b. Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui dan menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan Undang-undang No. 5 tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya di Taman Nasional Bali Barat

2. Untuk mengetahui dan menganalisa kendala yang dihadapi petugas dalam rangka penegakan Undang-undang No. 5 tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya dan upaya yang ditempuh untuk menanggulangi pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di kawasan konservasi Taman Nasional Bali Barat

4. Metode Penelitian

a. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah berupa penelitian empiris. Pendekatan ini dilakukan terhadap suatu masalah yang ditinjau dari segi hukum dan kemudian dihubungkan dengan praktek penerapannya didalam masyarakat.

b. Lokasi penelitian

Lokasi penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah Taman Nasional Bali Barat, yang berlokasi di Cekik Gilimanuk, Kabupaten Jembrana. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/1995 tanggal 15 September 1995, luas Taman Nasional Bali Barat sebesar 19.002,89 Ha yang terdiri dari 15.587,89 Ha wilayah daratan dan 3.415 Ha wilayah perairan.

c. Populasi dan sampel penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah aparat penegak hukum dalam kantor Taman Nasional Bali Barat, dan warga masyarakat di kawasan konsevasi Taman Nasional Bali Barat. Untuk mendapatkan sampel dari populasi tersebut, ditentukan melalui metode random sampling sejumlah responden, dengan sampel sebanyak 100 orang responden.

d. Pendekatan masalah

Pendekatan terhadap masalah hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan masalah secara yuridis empiris. Pendekatan yuridis dilakukan karena dalam mencari data, berpegang pada segi-segi yuridis dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan pendekatan secara empirik merupakan penelitian yang dilakukan dengan interaksi sosial dan data di lapangan dengan melihat dari segi kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam masyarakat.

e. Sumber data

Sumber data yang digunakan untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini diperoleh dari:

  1. Data Lapangan

Data lapangan ini diperoleh melalui penelitian lapangan (field research) yang dilakukan dengan mengadakan wawancara secara langsung kepada informan di Kantor Taman Nasional Bali Barat dan menyebarkan kuisioner kepada sejumlah responden dari warga masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan konservasiTaman Nasional Bali Barat.

  1. Data Kepustakaan

Data kepustakaan ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan seperti: Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419), Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888), Undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699), dan Peraturan lainnya yang terkait dengan permasalahan diatas. dan juga dapat ditunjang dengan buku, majalah, hasil penelitian, karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

f. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini digunakan beberapa metode pengumpulan data, yaitu:

  1. Kepustakaan

Teknik pengumpulan bahan hukum dengan penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan peraturan perundang-undangan dan buku, majalah, hasil penelitian, karya ilmiah lainnya.

  1. Kuisioner

Merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi pernyataan tertulis kepada responden. Responden tersebut ditentukan secara random sampling sejumlah responden, dan digunakan sampel sebanyak 100 orang responden.

  1. Wawancara

Informan yang akan diwawancarai dalam penelitian ini adalah

(1) Bapak I Ketut Gede Wanugraha, SH., Hakim Pengadilan Negeri Negara;

(2) Bapak I Putu Gede Arya Kusdyana, Humas kantor Taman Nasional Bali Barat;

(3) Bapak Sutardi, Staf bagian perlengkapan Kantor TNBB;

(4) I Ketut Widiantara, Polsus Kehutanan (Wakil Kepala Satgas/PPNS);

(5) Bapak Robert Chris R. S. Nafie, S.H., Polisi Hutan di Taman Nasional Bali Barat;

(6) Bapak Agus Andri, staf Tata Usaha Kantor Pelabuhan Gilimanuk/Syahbandar Gilimanuk, Ditjen Perhubungan Laut.

g. Teknik pengolahan dan analisis data

1. Teknik pengolahan data

Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil pengumpulan data di lapangan sehingga siap pakai untuk dianalisa.[23] Setelah semua data berhasil dikumpulkan, kemudian data diolah secara kualitatif dengan melakukan studi perbandingan antara data lapangan dan data kepustakaan sehingga akan diperoleh data yang bersifat saling menunjang antara teori dan praktek serta .

  1. Analisis data

Dalam menganalisa data yang telah dikumpulkan tersebut, digunakan metode analisis deskriptif, yaitu menggambarkan dengan kata-kata atau kalimat yang dipisah-pisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan.[24] Dalam metode analisis deskriptif, setelah data dianalisis kemudian disusun kembali secara sistematis sehingga mendapatkan kesimpulan tentang permasalahan hukum dalam penelitian ini.


[1] Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Cet. 9, Djambatan, Jakarta, 2001, hal. 1. (selanjutnya disingkat Otto Soemarwoto I).

[2] Ibid.

[3] R.M. Gatot P. Soemartono, Hukum Lingkungan Indonesia, Cet. 1, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal. 1-2.

[4] Mohammad Taufik Makarao, Apek-Aspek Hukum Lingkungan, PT. Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta, 2004, hal. 6.

[5] M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan: Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Ed. 3, Cet. Ke-1, Alumni, Bandung, 2001, hal. 3.

[6] Otto Soemarwoto I, op.cit, hal. 23.

[7] I Made Arya Utama, “Sanksi Hukum Dalam Memberikan Perlindungan Kelestarian Fungsi Lingkungan Hidup” Kertha Patrika Vol. 29 No. 2, Juli 2004, hal. 47.

[8] Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan Dan Segi-Segi Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal. 7.

[9] Koesnadi Hardja Soemantri, Hukum Perlindungan Lingkungan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Ed. 1, Cet. Ke-2, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1993, hal. 2-3.

[10] Cok, “Marak, Pencurian Jalak Bali di Taman Nasional Bali Barat”, Kompas, Selasa 10 Februari 2004, http://www.google.co.id/kasus taman nasional Bali barat//

[11] Ben, “Satwa Dilindungi: Curik Bali Hampir Punah di Habitat Aslinya”, Kompas, Jumat 16 Februari 2007, http:// www.google.co.id/kasus taman nasional Bali barat//

[12] Yatim Soroso, “Pelestarian yang sia-sia, curik Bali pun bisa punah dari TNBB”, Berita Bumi, 25 Juni 2007, http:// www.google.co.id/kasus taman nasional Bali barat//

[13] Kartasapoetra Rien G, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Bina Aksara, Jakarta, 1989, hal. 1.

[14] Kansil CST, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal. 29.

[15] Sunaryati Hartono, Apakah The Rule of Law Itu, Alumni, Bandung, 1976, h. 114.

[16] Kartasapoetra Rien G, op.cit, h. 21.

[17] Kansil CST, op.cit, h. 36.

[18] Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum dalam masyarakat, Rajawali Press, Jakarta, 1980, hal. 215. (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I).

[19] Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT RajaGrafindo, Jakarta, hal. 320-321. (Selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II).

[20] Soerjono Soekanto I, op.cit. h. 13.

[21] Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1982. (Selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III).

[22] Winarno Surachmad, “Dasar dan Teknik Research Pengantar Metodologi Ilmiah”, Tarsito, Bandung, 1975, h. 58.

[23] Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 72.

[24] Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian, Bina Aksara, Jakarta, 1986, hal. 194.


dapatkan file lengkapnya

klik disini

 


CARA SINGKAT BELAJAR BAHASA INGGRIS segera bergabung bersama kami..!!!!